Seekor Ayam Telah Menghancurkan Tuhan-Tuhan Kami!!
“Sudah menjadi kebiasaanku sebelum Islam, setiap kali aku mengunjungi
sebuah kota atau perkampungan, maka tempat pertama yang aku cari dan
aku masuki adalah tempat ibadah seperti gereja dan lain-lain. Hingga
akhirnya aku masuk ke sebuah masjid jami’. Pada saat itu kaum muslimin
sedang melak-sanakan shalat Maghrib. Aku menunggu hingga me-reka selesai
mengerjakan shalat lalu aku menemui imam masjid yang sedang berkumpul
dengan para ja-maah. Kemudian berlangsunglah diskusi dengannya tentang
permasalahanku yang merupakan awal aku masuk ke dalam agama Islam.”
Dari sinilah Abdullah al-Mahdi memulai bercerita tentang
keislamannya, bagaimana ia masuk ke dalam Islam, apa yang
mempengaruhinya hingga ia memeluk agama Islam dan tentang kehidupannya
sebelum masuk Islam. Abdullah al-Mahdi berkata, “Namaku sebelum Islam
Leonardo Viliyar. Aku lahir pada tanggal 4 Desember 1935 di sebuah
keluarga Kristen Katolik. Sewaktu kecil, aku dipelihara oleh kakek dan
nenekku. Mereka mengajariku tentang aliran Katholik yaitu keyakinan
trinitas. Keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah dan dialah yang kita
sembah selain Allah. Mereka berdua mengirimku ke sekolah Inggris setelah
berkali-kali aku memintanya. Hanya saja aku tidak menamatkannya,
Alhamdulillah. Waktu itu umurku sekitar 5 tahun dan kepala sekolah pada
awalnya tidak mau menerimaku karena umurku masih terlalu kecil. Tetapi
pada akhirnya ia menerimaku juga setelah ia yakin bahwa pengetahuanku di
atas teman-teman seusiaku.
Suatu kali mereka membiarkan aku tidur siang, sementara pintu rumah
terbuka. Pada saat itu masuk induk ayam bersama anaknya. Aku tersentak
bangun lalu aku ambil handuk untuk mengusir ayam itu ke-luar. Ayam
tersebut terbang ke patung yang biasa kami sembah ketika sembahyang.
Patung tersebut jatuh dan pecah berkeping-keping. Dari sini aku
mengetahui bahwa patung tersebut terbuat dari kayu dan ia bukan Tuhan.
Aku berbicara kepada patung tersebut, “Kamu ini hanyalah kayu bukan
Tuhan sebagaimana yang di yakini oleh nenek moyangku. Kamu tidak dapat
me-nolong dirimu sendiri, bagaimana mungkin kamu dapat menolong orang
lain.” Aku berkeinginan untuk mengancurkannya, namun karena aku masih
kecil dan takut kakekku akan memukulku maka aku kembali meletakkanya di
tempat semula. Aku mulai berfikir tentang perkara ini. Aku juga yakin
bahwa di sana ada Tuhan yang hakiki yang menciptakan segala yang ada.
Pada keesokan harinya aku melihat kakekku sedang duduk, lantas akupun
duduk di sampingnya. Lalu aku bertanya, “Apakah patung ini Tuhan?” Ia
menjawab, “Tidak. Tetapi kami menjadikannya sebagai kiblat pada shalat
kami, seakan-akan kami berada di hadapan Tuhan di saat kami mengerjakan
sembah-yang” Aku terdiam, tidak dapat mengungkapkan apa yang sedang
berkecamuk di dalam jiwaku.”
DISKUSI DENGAN KAKEKKU
Kapan terjadi perubahan dalam hidupmu?
Pada tahun 1943 M, tidak lama sebelum berakhir-nya perang dunia kedua,
aku menemukan buku yang mereka namakan Injil Barnabes (Gospel of
Barnabes). Akupun membaca isinya, di dalamnya ada sebuah ucapan yang
dinisbatkan kepada Nabi Isa AS yang artinya kurang lebih adalah:
“Sesungguhnya Tuhanmu tiada lain adalah Tuhanku, dan Rabbmu adalah
Rabbku.”
Aku merasa heran dengan kalimat tersebut karena bertentangan sama
sekali dengan akidah yang selama ini aku yakini. Seakan-akan aku
kesulitan untuk me-mahaminya. Sementara umurku saat itu baru menginjak 9
tahun, maka aku bertanya kepada kakekku maksud dari kalimat tersebut.
Akan tetapi ia tidak mau men-jawab pertanyaanku, bahkan sibuk mengamati
kitab tersebut kemudian berkata, “Kamu jangan membaca kitab ini, karena
itu akan menyesatkanmu dan men-jadikan kamu bimbang terhadap agamamu.
Dan se-sungguhnya penulis kitab tersebut bukan dari orang Nashrani.”
Aku bertanya, “Apakah ada agama lain selain aga-ma kita?”
“Ya.” Jawab kakekku.
Aku bertanya, “Apakah ada tuhan lain selain tuhan kita?”
“Tidak.” Jawab kakekku.
Aku tanya lagi, “Apakah agama mereka lebih baik dari agama kita?”
Kakekku menjawab, “Tidak, bahkan agama kita lebih baik dari agama mereka dan agama kita adalah yang terbaik dari semua agama.”
Aku bertanya, “Bagaimana kalian mengetahui hal itu?”
Kakekku berkata, “Aku telah mengetahuinya, dan jangan sekali-kali kamu membaca kitab ini.”
Akupun terdiam dan tidak tahu lagi apa yang harus aku ucapkan.
Kemudian aku bertanya kepada nenekku, ibuku, paman-pamanku, tapi jawaban
yang aku dapati sama semua, “Jangan kamu baca kitab ini.”
Aku bertanya pada diriku, “Apa rahasia dalam kitab ini? Kenapa mereka
melarangku membacanya? Apakah mungkin seseorang mengatakan sesuatu
ten-tang agamanya tapi ia berbohong kepada pencipta-nya? Apa yang
terjadi kalau aku baca kitab ini?” Dan pertanyaan lain yang selalu
terlintas dalam benakku.
Akhirnya aku bertekad untuk membaca kitab ini secara sembunyi dalam
kamar. Aku membacanya ber-ulang-ulang dan aku memulainya dengan mencari
agama yang dianut Isa AS.
Pada tahun 1947 M aku tinggalkan bangku seko-lah dan aku tidak lagi
menghadiri acara-acara ritual keagamaan. Lalu Aku pergi ke sebuah rumah
yang dihuni oleh seorang yang sudah tua. Aku memintanya untuk
mengisahkan padaku tentang para nabi yang masyhur di kalangan mereka
seperti Daud, Sulaiman, Ibrahim, Musa, Nuh dan Adam AS, dan aku juga
ber-tanya kepadanya tentang beberapa permasalahan agama.
Ketika ayahku mengetahuiku meninggalkan bang-ku sekolah, ia sangat
marah dan mengancam akan membunuhku. Kemarahannya memuncak saat ia
me-ngetahuiku tidak lagi pergi ke gereja menghadiri sembahyang pada hari
Minggu.
17 TAHUN TANPA LELAH
Akan tetapi, apakah kamu melemah dengan an-caman ayahmu?
Aku tidak berhenti untuk mencari keyakinan, aku mulai berpindah-pindah
dari satu kota ke kota lain-nya, dari satu pulau ke pulau lainnya selama
17 tahun tanpa merasa lelah.
SAAT BERPINDAH AGAMA
Bagaimana kisah di saat ia berpindah agama?
Pada tahun 1963 aku sampai di kota Marawi di pulau Mindanao sebelah
selatan Filipina yang berpen-duduk muslim. Sebagaimana kebiasaanku,
bahwa ketika aku sampai di suatu kota maka tempat pertama yang aku
singgahi adalah tempat peribadatan. Maka aku masuk ke sebuah masjid
jami’. Pada saat itu, kaum muslimin sedang melaksanakan shalat maghrib.
Aku menanti mereka hingga usai. Lantas aku menemui imam masjid dan
orang-orang berkumpul di sekitar kami. Aku bertanya kepada sang imam,
“Pekerjaan apa yang baru saja kalian lakukan?” ia menjawab, “Shalat.”
Aku kembali bertanya, “Apakah ini agama kalian?” Ia jawab, “Benar.” Aku
katakan, “Apa nama agama kalian?” Ia jawab, “Islam.” Aku tanyakan,
“Siapa Tuhan kalian?” Ia jawab, “Allah.” Aku bertanya lagi, “Siapa Nabi
kalian?” Ia menjawab, “Muhammad SAW.”
Aku terdiam, karena tiga kata tersebut baru kali ini aku dengar. Aku
berfikir dan kembali bertanya, “Bagaimana pendapat kalian mengenai
al-Masih?” ia jawab, “Ia adalah Isa bin Maryam AS dan ia adalah nabi
Allah.” Aku katakan, “Apa agamanya?” Ia menjawab, “Islam, karena semua
para nabi beragama Islam.” Karena waktu yang ter-batas aku tidak mungkin
memperpanjang pembica-raan, sementara aku masih asing di kota tersebut.
Lalu aku berkata, “Apakah Kalian punya buku yang mung-kin aku baca?”
lantas ia memberiku tiga buah buku berbahasa Inggris.
I. Buku Dinul Islam (agama Islam) tulisan Ahmad Ghawwasy.
II. Terjemahan makna al-Qur’an tulisan Abdullah Yusuf Ali.
III. Buku kecil tentang akidah.
Kemudian aku keluar dari masjid ke tempat yang aku tuju. Aku mulai
membaca buku tersebut dengan teliti selama sepuluh hari dari awal sampai
akhir, ter-nyata di dalamnya terdapat apa yang aku cari. Pada akhirnya
aku berkeyakinan bahwa sekarang telah aku dapatkan agama yang dianut
oleh Isa AS yang aku cari-cari selama dua puluh tahun.
Dalam buku itu di terangkan mengenai tata cara wudhu’ dan rukun
shalat. Aku kembali membaca buku tersebut dan sekaligus menghafalnya
hingga aku mampu mempraktekkannya. Lalu pada Jum’at pagi tepatnya
tanggal 24 Juni 1963, aku mendatangi rumah sang Imam dan aku bertanya,
“Bolehkah bagi seorang yang bukan muslim untuk memeluk agama Islam?”
jawabnya, “Boleh karena agama Islam bukan hanya untuk kaum muslimin,
tetapi untuk seluruh manusia. Peluklah agama Islam!” Kemudian ia
mengajarkanku tentang bagaimana cara berwudhu’, mengucapkan syahadat dan
tata cara shalat. Setelah aku selesai me-laksanakan shalat, aku
bertanya, “Apakah sekarang aku sudah menjadi seorang muslim?” ia
menjawab, “Benar.”
BELAJAR EMPAT TAHUN
Aku mulai mempelajari agama Islam di sebuah madrasah Islam di kota
itu selama kurang lebih empat tahun. Kemudian aku pergi ke Makkah
Mukarramah pada tahun 1966 belajar di madrasah Shaulatiyah. Pada akhir
tahun 1967 aku berhasil mendapatkan surat izin tinggal untuk pelajar.
Pada tahun 1978 aku diterima belajar di Jami’ah Islamiyah di Madinah
al-Munaw-warah hingga tahun 1979 dan mandapat ijazah dari fakultas
Dakwah dan Ushuluddin. Lalu aku di kirim melalui Darul Ifta’ –sebelum
menjadi departeman- ke wilayah Sabah Malaysia hingga saat ini.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN, Muhammad bin Shalih al-Qahthani,
seperti yang dinukilnya dari situs Mausu’ah al-Qishash al-Waqi’iyah.
Penerbit DARUL HAQ, Telp.021-4701616)
by :Nurul Nadiah
No comments:
Post a Comment